Potongan
Pagi itu stasiun penuh sesak,
dipenuhi orang-orang yang mengeluh tidak sabar. Kereta menuju Depok tak kunjung
datang. Mahasiswa dan mahasiswi berdesakan sambil sesekali melihat jam tangan,
berharap waktu berhenti dan mereka tidak perlu berlari ke kelas. Beberapa
lainnya berharap dosen mereka terlambat pula dan sebagian memutuskan untuk
membolos saja. Ah...tapi bagi dia waktu memang sudah berhenti. Tidak ada lagi
berlari dan terlambat, karena kelasnya memang sudah selesai. Puluhan orang
memandangnya tak percaya dan yang lain membereskan potongan tubuhnya.
.......................................................................................................................................................
Aku berjalan gontai di depan stasiun
bercat kuning itu. Dapat kudengar suara kakek-kakek penjual tissue bercampur
dengan riuh tawa sekumpulan mahasiswa yang hendak pulang. Tapi aku tak
mendengarkan. Juga tidak suara wanita dalam rekaman itu. Karena aku tak peduli
sampai di mana kereta yang akan kunaiki. Jangankan itu, aku pun tidak peduli
kereta mana yang akan aku naiki akhirnya. Karena itu memang bukan tujuanku.
Tujuanku hanya satu. Mengumpulkan
potongan-potongan kenangan. Kenangan
yang telah begitu saja kau hancurkan. Kenangan tentang kau atau mungkin tentang
diriku sendiri, yang juga telah menjadi sesuatu di masa lampau. Aku hanya ingin mencoba mengingat. Atau melupakan? Jika
saja masih bisa.
Dan ketika akhirnya kakiku berakhir
di atas peron aku sangat bersemangat. Seperti yang dulu aku miliki ketika aku
menunggumu sebelum melakukan perjalanan rahasia kita. Semangat yang kumiliki
setiap kali aku akan berjumpa denganmu setiap hari Rabu dan Jumat atau ketika
melihat sosokmu di balik pintu kereta yang terbuka perlahan. Sekarang aku
mendengar suara wanita di rekaman itu. Aku peduli jika keretanya sudah sampai
di sini. Aku peduli karena itu artinya kita akan bertemu lagi.
Ujung sepatuku menyisir tepi peron
bersamaan dengan suara klakson dan peluit yang semakin kencang. Lalu aku
melihat nyala kedua lampu kuning yang menyinari rel yang sebentar lagi akan
dilindasnya. Inikah waktu yang tepat? Ah..belum. Belum. Bukan sekarang. Maka
aku menarik ujung sepatuku lagi dan menunggu bersama yang lain di balik garis
kuning. Tetap berdiri hingga pintu kembali tertutup. Melihat sosokmu terbawa
bersama kereta yang melaju. Melaju tanpa potongan tubuhku.
Mengapa tidak sekarang saja? Sesal
dan marah kulimpahkan lagi pada diriku. Pengecut, umpatku pada diriku sendiri.
Hidupku bahkan sudah tidak ada gunanya. Pikiranku berkecamuk. Kemarin malam
kawan band-ku baru saja menendangku
keluar dari band yang kupikir sudah
menjadi rumahku sejak masih putih abu-abu. Pecundang. Itu kan salahku sendiri.
Aku yang tiba-tiba berang dan menghancurkan gitar di studio rekaman. Dan
lengkap sudah, semua orang yang dulu ada di sampingku pergi meninggalkanku.
Tapi mengapa aku tidak juga siap untuk meninggalkan tubuhku?
Aku berjalan ke luar stasiun lagi
tanpa sebuah perjalanan. Penjaga di stasiun tampaknya mulai mengenaliku. Si
pemuda tanpa perjalanan. Ia tidak mengenaliku ketika aku masih benar-benar
berjalan. Aku kembali melangkahkan kakiku. Telah kujual motorku untuk membayar
kos-kosan di belakang rel kereta. Mungkin suatu saat aku akan menyusuri rel
kereta itu saja dan berharap menemukan waktu yang tepat untuk menghentikan
waktu.
Hujan rintik-rintik membasahi
jendela kamarku yang kecil. Sejak aku keluar dari band aku jadi sering mendekam
di kamar seperti orang bodoh. Bermain gitar, menulis lagu, merokok, atau
membaca setumpuk cerpen yang dulu selalu kau berikan padaku untuk dibaca. Aku
baru tahu seorang gadis bisa membuatku merasa seperti ini. Seperti dalam
permainan roller coaster, aku dijatuhkan
secara tiba-tiba dari puncak tertinggi. Semakin jauh aku terpisah dari diriku
sendiri. Diriku yang dulu sangat kau kagumi. Diriku yang punya visi dan
cita-cita. Diriku yang selalu ingin merekat dan menguasai tubuhnya.
Dalam situasi begini aku jadi sering
melamun. Aku seperti orang buta yang diputarkan sebuah film empat dimensi.
Merasa tapi tidak melihat. Hanya mata ingatanku saja yang melihat. Melihat
dirimu yang menyandarkan kepalamu pada punggungku ketika aku memainkan sebuah
lagu dengan gitarku. Atau ketika kamu memainkan rambut panjangku yang terurai
sambil mengatakan aku mengingatkanmu pada tokoh musisi rock dalam novel
favoritmu. Kamu tidak pernah mempermasalahkan pilihanku untuk berhenti kuliah
demi sesuatu hal yang menjadi kegemaranku. Musik. Yang sialnya kini tidak lagi
bisa membayar kebutuhan hidupku.
Tidak bisa membayar kebutuhan hidup
adalah hal yang kutakutkan dahulu. Ketika untuk pertama kalinya aku menikmati
buah dadamu yang merekah matang dan kita mewarnai ranjang kecilku dengan persetubuhan.
Kamu mengajakku bicara tentang masa depan dan aku berkata tentang ketakutanku untuk
membawamu melangkah lebih jauh. Ketakutanku jika jalan yang kupilih tidak dapat
memberikan kehidupan yang layak untukmu. Kamu hanya tertawa kecil dan mengecup
jemariku yang hangat peluh. Kurt Cobain saja menikah pakai piyama, katamu.
Ah sudahlah, mengingatmu hanya
membuatku tersiksa. Seperti mengharapkan sesuatu yang tak bisa didapatkan.
Mengapa tidak sekarang saja? Apa lagi yang kutakutkan? Rasa sakit? Bukankah
lebih sakit jika hidup seperti ini? Lalu apa? Atau mungkin justru
potongan-potongan memori ini yang memintaku untuk terus hidup? Paling tidak
untuk menghidupkannya. Tapi aku bahkan tidak tahu aku menikmatinya. Mengapa
rasanya sulit sekali menentukan waktu untuk mengakhiri hidupmu? Kau tidak
pernah menemukan saat yang tepat.
Kadang aku berpikir mana yang lebih
baik. Mati dalam keadaan sangat sedih atau sangat bahagia. Jika kita mati di
saat paling bahagia, maukah kita mengakhiri kebahagiaan itu begitu saja?
Mungkin rasanya seperti ketika kau menikmati gitar solo dalam konser rock dan
tiba-tiba listrik padam. Atau saat kau hendak mencium kekasihmu dan tiba-tiba
seseorang masuk ke dalam ruangan itu dan merusak momenmu. Tapi jika kematian
datang di saat kita benar-benar menderita, siapakah yang mau mengakhiri
perjalanan hidup dengan cara seperti itu? Hahaha. Bodoh. Aku mengusap rambut
dengan telapak tanganku. Ini kan tidak penting bagimu. Ini semua tentang aku.
Tentang aku dan orang-orang yang ditinggalkan. Aku mengambil pemantik dan
menyalakan Marlboroku, mengisapnya dalam-dalam. Wajahmu membayang terbang
bersama asap.
..................................................................................................................................................
Hari ini stasiun kembali dipenuhi
oleh orang-orang yang menunggu. Mahasiswa dan mahasiswi kembali mengumpat dan
perlahan menghitung detak jam yang tidak juga berhenti. Berharap kereta segera
datang dan mereka tak perlu berlari karena terlambat. Berharap dosen mereka
terlambat pula atau mereka akan bolos saja. Tapi baginya waktu memang sudah
berhenti. Kelasnya sudah lama selesai. Puluhan orang memandangnya tak percaya
dan yang lain membereskan potongan tubuhnya, seperti yang mereka lakukan pada gadis
tempo hari.
Jakarta,
6 Maret 2014
Lynn
McKenzie