Friday, April 4, 2014

Lilin Merah Jambu

Lilin-lilin merah jambu

Pancarkanlah sinarmu

Bawalah yang terindah kepadaku

Sebelum kematianku

Yang ketiga..


Dalam Diam

Dalam diam

Aku melihat

Manusia

Berkaki empat...


4 April 2014

Sunday, March 16, 2014

Lyrae: Collecting Positive Energies Through Chants

Bernyanyi merupakan salah satu cara yang digunakan banyak orang untuk menyingkirkan pikiran-pikiran negatif dan mengumpulkan energi postif. Bagi saya, bernyanyi merupakan salah satu rutinitas yang menjadi bagian dalam program Self Care yang sedang saya jalankan.

Why should I chant?

Dengan bernyanyi berulang (chanting) kita terus menerus mengulang serangkaian kata-kata positif yang tanpa kita sadari akan masuk ke dalam pikiran kita dan mempengaruhi kita. Hanya dengan menyalakan lilin dan aromaterapi sambil memejamkan mata selama 5 menit, kita dapat merasakan kedamaian menyelimuti kita ketika kita menyenandungkan kata-kata positif tersebut. Seperti mantra. Tiba-tiba saja rasa marah, sedih dan bad mood langsung hilang.

Kata-kata tersebut dapat kita sesuaikan dengan tujuan kita dan dapat kita ambill dari berbagai hal mulai dari mantra kuno, teks kitab suci, doa, pujian kepada alam, hingga menyebut nama sang pencipta.

Apakah harus dilakukan dalam kesendirian?

Bagaimana melakukannya tergantung dari diri kita masing-masing. Yang terutama adalah kita dapat terhubung dengan kedamaian yang kita cari, entah itu berasal dari diri kita (inner self), ibu alam maupun sang pencipta. Tentu kita dapat melakukannya bersama-sama seperti dalam kelompok dzikir maupun komunitas Taize. Bahkan dalam keramaian pun kita dapat menyanyikannya dalam hati sambil medengarkan musiknya dengan earphone. 

I don't sing. I listen
Nah..kalau memang kita nggak suka nyanyi, mendengarkan chants juga bisa jadi opsi yang bagus. Mainkan saja playlist-nya di rumah dan dengarkanlah sembari melakukan pekerjaan rumah, minum kopi  atau sekedar berbaring tanpa pakaian dibalik selimut tebal. Worth to try! Hmmmmm...

My chants selections:

To begin a prayer or when I feel like I want to give up  (Christian chants)

https://www.youtube.com/watch?v=t4Svh-9ohg4

bless the Lord my soul and bless God's holy name. Bless the Lord my soul, who leads me into life

https://www.youtube.com/watch?v=AqoYsauFa2I


Jésus le Christ, lumière intérieure, ne laisse pas mes ténèbres me parler. Jésus le Christ, lumière intérieure, donne-moi d'accueillir ton amour
Jesus Christ, inner light, do not let my darkness speak to me. Jesus Christ, inner light, enable me to welcome your love.

https://www.youtube.com/watch?v=r6tVReXsioM

Jesus, remember me, when You come into Your kingdom

.......................................................................................................................................
To connect with the Mother Nature, summon feminine energies and feel whole as the part of her
 https://www.youtube.com/watch?v=6RL_mgx-3L4

The earth, the air, the fire the water return, return, return, return

https://www.youtube.com/watch?v=E3iw6tobQ6U&list=PLF87825AB498ACFA5 

we all come from the Goddess and to Her we shall return, like a drop of rain flowing to the ocean



 



 




Wednesday, March 12, 2014

Lynn: Cerita Pendek I


Potongan


            Pagi itu stasiun penuh sesak, dipenuhi orang-orang yang mengeluh tidak sabar. Kereta menuju Depok tak kunjung datang. Mahasiswa dan mahasiswi berdesakan sambil sesekali melihat jam tangan, berharap waktu berhenti dan mereka tidak perlu berlari ke kelas. Beberapa lainnya berharap dosen mereka terlambat pula dan sebagian memutuskan untuk membolos saja. Ah...tapi bagi dia waktu memang sudah berhenti. Tidak ada lagi berlari dan terlambat, karena kelasnya memang sudah selesai. Puluhan orang memandangnya tak percaya dan yang lain membereskan potongan tubuhnya.
.......................................................................................................................................................
            Aku berjalan gontai di depan stasiun bercat kuning itu. Dapat kudengar suara kakek-kakek penjual tissue bercampur dengan riuh tawa sekumpulan mahasiswa yang hendak pulang. Tapi aku tak mendengarkan. Juga tidak suara wanita dalam rekaman itu. Karena aku tak peduli sampai di mana kereta yang akan kunaiki. Jangankan itu, aku pun tidak peduli kereta mana yang akan aku naiki akhirnya. Karena itu memang bukan tujuanku.
            Tujuanku hanya satu. Mengumpulkan potongan-potongan kenangan. Kenangan yang telah begitu saja kau hancurkan. Kenangan tentang kau atau mungkin tentang diriku sendiri, yang juga telah menjadi sesuatu di masa lampau. Aku hanya ingin mencoba mengingat. Atau melupakan? Jika saja masih bisa.
            Dan ketika akhirnya kakiku berakhir di atas peron aku sangat bersemangat. Seperti yang dulu aku miliki ketika aku menunggumu sebelum melakukan perjalanan rahasia kita. Semangat yang kumiliki setiap kali aku akan berjumpa denganmu setiap hari Rabu dan Jumat atau ketika melihat sosokmu di balik pintu kereta yang terbuka perlahan. Sekarang aku mendengar suara wanita di rekaman itu. Aku peduli jika keretanya sudah sampai di sini. Aku peduli karena itu artinya kita akan bertemu lagi.
            Ujung sepatuku menyisir tepi peron bersamaan dengan suara klakson dan peluit yang semakin kencang. Lalu aku melihat nyala kedua lampu kuning yang menyinari rel yang sebentar lagi akan dilindasnya. Inikah waktu yang tepat? Ah..belum. Belum. Bukan sekarang. Maka aku menarik ujung sepatuku lagi dan menunggu bersama yang lain di balik garis kuning. Tetap berdiri hingga pintu kembali tertutup. Melihat sosokmu terbawa bersama kereta yang melaju. Melaju tanpa potongan tubuhku.
            Mengapa tidak sekarang saja? Sesal dan marah kulimpahkan lagi pada diriku. Pengecut, umpatku pada diriku sendiri. Hidupku bahkan sudah tidak ada gunanya. Pikiranku berkecamuk. Kemarin malam kawan band-ku baru saja menendangku keluar dari band yang kupikir sudah menjadi rumahku sejak masih putih abu-abu. Pecundang. Itu kan salahku sendiri. Aku yang tiba-tiba berang dan menghancurkan gitar di studio rekaman. Dan lengkap sudah, semua orang yang dulu ada di sampingku pergi meninggalkanku. Tapi mengapa aku tidak juga siap untuk meninggalkan tubuhku?
            Aku berjalan ke luar stasiun lagi tanpa sebuah perjalanan. Penjaga di stasiun tampaknya mulai mengenaliku. Si pemuda tanpa perjalanan. Ia tidak mengenaliku ketika aku masih benar-benar berjalan. Aku kembali melangkahkan kakiku. Telah kujual motorku untuk membayar kos-kosan di belakang rel kereta. Mungkin suatu saat aku akan menyusuri rel kereta itu saja dan berharap menemukan waktu yang tepat untuk menghentikan waktu.
            Hujan rintik-rintik membasahi jendela kamarku yang kecil. Sejak aku keluar dari band aku jadi sering mendekam di kamar seperti orang bodoh. Bermain gitar, menulis lagu, merokok, atau membaca setumpuk cerpen yang dulu selalu kau berikan padaku untuk dibaca. Aku baru tahu seorang gadis bisa membuatku merasa seperti ini. Seperti dalam permainan roller coaster, aku dijatuhkan secara tiba-tiba dari puncak tertinggi. Semakin jauh aku terpisah dari diriku sendiri. Diriku yang dulu sangat kau kagumi. Diriku yang punya visi dan cita-cita. Diriku yang selalu ingin merekat dan menguasai tubuhnya.
            Dalam situasi begini aku jadi sering melamun. Aku seperti orang buta yang diputarkan sebuah film empat dimensi. Merasa tapi tidak melihat. Hanya mata ingatanku saja yang melihat. Melihat dirimu yang menyandarkan kepalamu pada punggungku ketika aku memainkan sebuah lagu dengan gitarku. Atau ketika kamu memainkan rambut panjangku yang terurai sambil mengatakan aku mengingatkanmu pada tokoh musisi rock dalam novel favoritmu. Kamu tidak pernah mempermasalahkan pilihanku untuk berhenti kuliah demi sesuatu hal yang menjadi kegemaranku. Musik. Yang sialnya kini tidak lagi bisa membayar kebutuhan hidupku.
            Tidak bisa membayar kebutuhan hidup adalah hal yang kutakutkan dahulu. Ketika untuk pertama kalinya aku menikmati buah dadamu yang merekah matang dan kita mewarnai ranjang kecilku dengan persetubuhan. Kamu mengajakku bicara tentang masa depan dan aku berkata tentang ketakutanku untuk membawamu melangkah lebih jauh. Ketakutanku jika jalan yang kupilih tidak dapat memberikan kehidupan yang layak untukmu. Kamu hanya tertawa kecil dan mengecup jemariku yang hangat peluh. Kurt Cobain saja menikah pakai piyama, katamu.  
            Ah sudahlah, mengingatmu hanya membuatku tersiksa. Seperti mengharapkan sesuatu yang tak bisa didapatkan. Mengapa tidak sekarang saja? Apa lagi yang kutakutkan? Rasa sakit? Bukankah lebih sakit jika hidup seperti ini? Lalu apa? Atau mungkin justru potongan-potongan memori ini yang memintaku untuk terus hidup? Paling tidak untuk menghidupkannya. Tapi aku bahkan tidak tahu aku menikmatinya. Mengapa rasanya sulit sekali menentukan waktu untuk mengakhiri hidupmu? Kau tidak pernah menemukan saat yang tepat.
            Kadang aku berpikir mana yang lebih baik. Mati dalam keadaan sangat sedih atau sangat bahagia. Jika kita mati di saat paling bahagia, maukah kita mengakhiri kebahagiaan itu begitu saja? Mungkin rasanya seperti ketika kau menikmati gitar solo dalam konser rock dan tiba-tiba listrik padam. Atau saat kau hendak mencium kekasihmu dan tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan itu dan merusak momenmu. Tapi jika kematian datang di saat kita benar-benar menderita, siapakah yang mau mengakhiri perjalanan hidup dengan cara seperti itu? Hahaha. Bodoh. Aku mengusap rambut dengan telapak tanganku. Ini kan tidak penting bagimu. Ini semua tentang aku. Tentang aku dan orang-orang yang ditinggalkan. Aku mengambil pemantik dan menyalakan Marlboroku, mengisapnya dalam-dalam. Wajahmu membayang terbang bersama asap.
..................................................................................................................................................
            Hari ini stasiun kembali dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu. Mahasiswa dan mahasiswi kembali mengumpat dan perlahan menghitung detak jam yang tidak juga berhenti. Berharap kereta segera datang dan mereka tak perlu berlari karena terlambat. Berharap dosen mereka terlambat pula atau mereka akan bolos saja. Tapi baginya waktu memang sudah berhenti. Kelasnya sudah lama selesai. Puluhan orang memandangnya tak percaya dan yang lain membereskan potongan tubuhnya, seperti yang mereka lakukan pada gadis tempo hari.
Jakarta, 6 Maret 2014
Lynn McKenzie
Lyrae: Feeling lonely during the "Me-Time"?

Hidup di kota besar memang banyak nggak enaknya. Terutama untuk orang introvert seperti Lyrae ini. Sebentar saja berkumpul dengan orang banyak, rasanya baterai harus segera diisi ulang. Karena itu, Me-time merupakan agenda yang wajib banget untuk seorang Lyrae, mungkin juga untuk kamu?

Mungkin sekedar membaca novel, menulis cerpen, minum secangkir kopi hangat, mendengarkan musik atau menikmati indahnya makhluk makhluk yang dilahirkan ibu alam. Sendirian.


Uups! Tapi bagaimana kalau bukannya semakin bersemangat, kita justru semakin merasa kesepian?
Serba nggak konsen dan bertanya-tanya : "Am I destined to be alone?"

Tentu saja nggak. Coba kita perhatikan, jangan-jangan kita belum benar-benar memberikan diri kita waktu untuk diri kita sendiri? Jangan-jangan pikiran kita masih berpusat pada orang dan hal-hal lain. Bagaimana ya aku bisa dekat dengan si dia? Bagaimana ya kata dosen A kalau aku melakukan ini? Bagaimana kalau aku nggak bisa mengerjakan ujian besok? Kenapa ya teman-temanku kok begini? Bagaimana ya aku bisa melakukan hal yang berguna untuk orang tua?

STOP! Me-Time bukan saatnya memikirkan hal-hal itu. Ada saatnya kita tidak harus memikirkan bagaimana kita bersama orang lain. Dengarkanlah diri kita. Apa yang sebenarnya benar-benar kita inginkan. Bukan yang kita inginkan karena orang lain. Jangan takut untuk meninggalkan sedikit kewajiban dan tugas kita ketika badan kita berteriak tidak sanggup dan butuh dimanjakan.

Let all go from your mind. Welcome your inner self. Take time to rest.

- Lyrae S.-